Sejarah Sumatera Utara
Sumatera
Utara lahir tanggal 15 April 1948 dengan wilayah mencakup tiga
keresidenan, yaitu, Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Ibu kotanya
waktu itu belum di Medan, melainkan di Kutaraja, sekarang Banda Aceh.
Gubernur Sumatera Utara yang pertama dijabat oleh Mr. S.M. Amin.
Berdasarkan
penemuan arkeologi, Sumatera Utara diketahui dihuni sejak zaman
Mesolitikum. Penghuninya disebut sebagai orang Austro Melanesoid, banyak
mendiami daerah muara sungai. Pada tahun 2000 SM, Sumatera Utara mulai
dihuni oleh orang Proto Melayu dan kemudian dihuni pula oleh orang
Deutro Melayu yang berasal dari daerah bagian selatan Cina.
Pada
awal tarikh Masehi, penghuni Sumatera Utara sudah menjalin hubungan
dagang dengan orang-orang dari India dan Cina. Sekitar tahun 775 Masehi,
Sumatera Utara termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya.
Pemerintahan dengan system Kerajaan di Sumatera Utara muncul pada abad
15, yaitu dengan munculnya Kerajaan Nagur, Aru, Panai, dan Batangiou.
Pada suatu ketika, terjadi peperangan antara Kerajaan Nagur dan Kerajaa
Batangiou yang dimenangkan oleh Kerajaan Nagur. Karena kemenangan dalam
peperangan tersebut, Kerajaan Nagur menjadi penguasa seluruh Simalungun.
Pada
abad 16, di Tapanuli muncul suatu kerajaan yang didirikan oleh
keturunan Sisingamangaraja, yaitu Kerajaan Batak. Kerajaan ini kemudian
mencakup seluruh Tapanuli, sampai ke Angloka, Mandailing, dan Dairi.
Sementara itu, di daerah pesisir timur Sumatera Utara terdapat sebuah
kerajaan besar bernama Kerajaan Aru. Wilayahnya meliputi daerah yang
sangat luas, dari perbatasan Aceh sampai ke muara sungai Barumun,
meliputi daerah Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu.
Ketiga
kerajaan di atas, yaitu, Nagur, Batak, dan Aru terus menerus terlibat
persaingan memperebutkan hegemoni di wilayah Sumatera Utara. Kekuasaan
Kerajaan Nagur semakin luas, meliputi daerah pedalaman Asahan, Serdang
Hulu, Tanah Karo sampai ke daerah Gayo atas, meliputi seluruh daerah
pedalaman bagian utara Sumatera Utara. Sementara itu Kerajaan Batak
(Sisingamangaraja) memperluah pengaruhnya ke seluruh Tapanuli, beberapa
daerah di tanah Karo, bahkan kemudian merebut wilayah Simalungun yang
sebelumnya di bawah kekuasaan Kerajaan Nagur. Sedangkan Kerajaan Aru,
ketika itu mendapat ancaman dari tiga kekuasaan bedar di Selat Malaka,
yaitu, Aceh, Portugis, dan Johor. Untuk menghindari ancaman itu, pusat
Kerajaan Aru dipindah ke daerah pedalaman, yaitu di Deli Tua, sekarang
wilayahnya sekitar sepuluh kilometer dari Medan.
Pengaruh
Aceh ke Sumatera Utara masuk pada abad 17. Seorang Panglima Aceh
bernama Gocah Pahlawan dating ke Deli Tua dan menikah dengan putrid Wan
Baluan dari Sunggal. Gocah Pahlawan inilah yang menurunkan raja-raja
Deli dan raja-raja Serdang. Pada tahun 1669, beberapa daerah pesisir
timur Sumatera Utara direbut oleh Siak. Siak kemudian menyusun
pemerintahan berdasarkan aturan Minangkabau.
Pada
abad 19, pengaruh Belanda mulai masuk. pada tanggal 1 Februari 1859,
Siak menandatangani penjanjian penting dengan Belanda. Isinya adalah
pengakuan dari penguasa Siak bahwa daerahnya termasuk dalam kekuasaan
Belanda. Belanda juga diizinkan membangun pangkalan di Bengkalis dan
daerah yang yang dirasa perlu. Belanda juga diizinkan, bila perlu,
mengutip pajak di daerah-daerah kekuasaan Siak.
Belanda
kemudian mengangkat seorang Asisten Residen di Siak. Kekuasaan Belanda
ketika itu meliputi seluruh daerah jajahan Siak, yaitu daerah pesisir
timur Sumatera. Sementara itu, di wilayah pesisir barat Sumatera Utara,
kekuasaan Belanda mulai masuk sejak berakhirnya perang Paderi di
Sumatera Barat. Untuk wilayah tanah batak pedalaman, cengkraman
kekuasaan Belanda ditandai dengan adanya “perjanjian tembaga”.
Penjanjian tersebut berisi permintaan bantuan raja Gedombang dari
Mandailing terhadap Belanda untuk menghadapi Paderi. Dengan adanya
perjanjian tersebut, Belanda mulai menancapkan pengaruhnya di pedalaman
Sumatera Utara. Selain itu, Belanda juga menyerang dan memduduki Pulau
Nias pada tahun 1863.
Pada
tahun 1834, Belanda mendirikan Keresidenan Tapanuli. Pusat keresidenan
berada di Sibolga dan menguasai empat daerah afdeling, yaitu, Sibolga en
Omstreken, Angkola en Sipirok, Batakladen, dan Nias. Pada tanggal 1
Maret 1887, Belanda membentuk keresidenan di daerah Sumatera Timur.
Keresidenan Sumatera Timur berpusat di Medan, terdiri atas empat daerah
afdeling, yaitu, Deli Serdang, Simalungun dan Karolanden, Langkat, dan
Asahan.
Perluasan
kekuasaan Belanda itu, banyak menimbulkan perlawanan rakyat. Namun,
semua perlawanan tersebut tidak diorganisir dengan baik dan selalu dalam
kekuatan yang kecil sehingga Belanda dapat meredam semua perlawanan
tersebut. Perlawanan sengit baru terlihat ketika Belanda memperluas
kekuasaannya ke daerah pedalaman, yaitu, tanah Batak. Perlawanan
dipimpin oleh Sisingamangaraja XII. Perlawanan tersebut tersebar luas,
selain di Toba, juga mencapai daerah kekuasaan Sisingamangaraja lainnya
seperti Aceh Tenggara, Dairi, Pakpak, Karo, Simalungun, dan Toba sebelah
selatan. Perlawanan Sisingamangaraja berlangsung 30 tahun, yaitu dari
tahun 1877 sampai 1907. Setelah mematahkan perlawanan Sisingamangaraja
ini, berarti Belanda sudah menguasai Sumatera Utara secara penuh.
Perlawanan
terhadap Belanda mulai muncul kembali pada awal abad 20. Kali ini
pergerakan lebih secara politik dan digerakan oleh tokoh-tokoh yang
berpendidikan seperti Tan Malaka, Dr. Pirngadi dan Adenan Nur Lubis.
Pada saat itu, banyak bermunculan organisasi-organisasi politik yang
sebagian diantaranya merupakan cabang dari organisai yang berpusat di
Jakarta. Mereka adalah Syarikat Ilam, PNI, Gerindo, Partindo, Al
Jami’atul Washliyah, NU, Muhammadiyah, dan organiasi-organiasi
pergerakan lain.
Di
Tapanuli terdapat pula organisasi keagamaan, khususnya gerejani yang
masuk ke daerah ini sejak abad 19. Pengaruh nasionalisme mulai terasa
dalam gereja sekitar tahun 1930. Sejumlah orang Batak yang tergabung
dalam perkumpulan Hatopan Kristen Batak mengkritik gereja yang masih
dipimpin oleh bangsa asing.
Pada
tanggal 13 Maret 1942, Tentara Jepang memasuki Medan. Mereka kemudian
menduduki Mesjid Raya untuk dijadikan benteng. Dalam waktu ingkat,
pasukan Jepang dapat menduduki kota-kota penting di Sumatera Utara.
Raja-raja di Sumatera Utara kemudian diperintah untuk membantu
pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah Jepang. Jepang memerintah di
Sumatera Utara secara sewenang-wenang, dan menyengsarakan rakyat.
Diantara kebijakan yang menyengsarakan rakyat adalah Romusha.
Romusha bertujuan memobilisasi seluruh rakyat untuk membantu Jepang
dalam pembangunan pertahanan di kawasan Asia Tenggara. Banyak diantara
para romusha ini dikirim ke luar negeri seperti Birma, Thailand dan
tempat lain untuk dipekerjakan secara paksa dan tidak manusiawi.
Dua
hari setelah Jepang menyerah kepada sekutu, yaitu pada17 Agustus 1945,
bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Di awal kemerdekaan
ini, Sumatera Utara termasuk dalam wilayah provinsi Sumatera. Seperti
diuraikan di atas, pada tanggal 15 April 1948, Sumatera Utara terbentuk
dengan wilayah mencakup tiga keresidenan, yaitu, Aceh, Sumatera Timur,
dan Tapanuli.
Pada
tanggal 3 Oktober 1945, Dr. F. Lumbantobing diangkat sebagai residen
Tapanuli. Selanjutnya dilakukan pembentukan KNI di seluruh wilayah yang
disertai dengan pembentukan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Dalam
memperingati tiga bulan proklamasi kemerdekaan, tapatnya tanggal 17
Oktober 1945, di Tarutung dilakukan rapat umum yang dihariri oleh
seluruh rakyat setempat. Dalam kesempatan itu, rakyat mengucapkan ikrar
setia kepada pemerintah Republik Indonesia.
Pada
era RIS, identitas Sumatera Utara hilang karena wilayahnya masuk dalam
Negara Sumatera Timur. Pada tanggal 15 Agustus 1950, pasca kembalinya RI
dari bentuk RIS ke NKRI, provinsi Sumatera Utara kembali terbentuk
dengan wilayah mencakup tiga keresidenan, yaitu, Aceh, Sumatera Timur,
dan Tapanuli dengan Medan ditetapkan sebagai Ibukotanya. Gubernur
definitif pertamanya adalah A. Hakim yang kemudian pada tahun 1953
diganti oleh Mr. S.M. Amin. Pada tahun 1956, Aceh berdiri sendiri
sebagai provinsi, dengan demikian wilayah Sumatera Utara hanya mencakup
wilayah Sumatera Timur dan Tapanuli. Kondisi wilayah ini tetap sampai
sekarang. Pada tahun 1956 ini SM. Amin diganti oleh St. Kumala Pontas
yang menjabat gubernur sampai tahun 1960.
Sampai
awal terbentuknya rezim Orde Baru, Sumatera Utara masih disibukan
dengan konflik-konflik baik vertical ataupu horizontal. Akibat konflik
tersebut, empat gubernur berikutnya tidak bisa melakukan pembangunan.
Mereka adalah Raja Junjungan Lubis (1960-1963), Eny Karim (1963-1963),
Ulung Sitepu (1963-1965), dan P.R. Telaumbanua (1965-1967). Pembangunan
daerah baru bias dilakukan di era Orde Baru. Gubernur yang menjabat
pertama di era Orde Baru adalah Brigjen Marah Halim Harahap (1967-1978).
Gubernur berikutnya adalah Mayjen E.W.P. Tambunan (1978-1983), Mayjen
Kaharuddin Nasution (1983-1988), Mayjen Raja Inal Siregar (1988-1998),
Mayjen Teungku Rizal Nurdin (1998-2005), Rudolf Pardede (2005-2008), dan
Syamsul Arifin (2008-2013).
No comments:
Post a Comment